ADALAH hal
biasa jika seorang penumpang bus kota punya teman duduk di sebelahnya. Ini
disebabkan kebanyakan format posisi tempat duduk di bus dibuat
sepasang-sepasang. Membuat kita saling berdekatan dan mendapat keteraturan secara
otomatis. Saya sebagai penggemar angkutan umum, seperti Damri dan Trans Metro Bandung
(TMB) kenal betul situasi ini.
Bagi
saya sendiri, teman duduk itu bisa saja saya kenal, tapi seringkali tak kenal.
Dengan teman duduk yang tak kenal itu, kebanyakan dari kita saling cuek, bukan?
Apalagi ketika macet—yang konon kabarnya disebabkan si Komo lewat—datang, pasti
kita akan bête sendirian. Lalu
mulai mencari keasyikan sendiri dengan handphone atau earphone. Bagi yang tak punya, akan memilih untuk melamun atau memeluk
kantuk lalu terlelap.
Inilah
ironi penumpang bus kota: berdekatan di waktu yang cukup lama, tapi bahkan tak
saling menyapa. Berdasarkan pengalaman-pengalaman itulah, saya mengawali langkah perjalanan
mudik dengan segenap enggan. Di dalam pikiran, saya sudah sok memprediksi
bagaimana tidak menyenangkannya perjalanan saya nanti. Sepi.
Ehh,
nyatanya—seperti biasanya—prediksi saya keliru. Kali ini, saya mendapatkan
teman duduk seorang perempuan yang kemudian saya sebut: ibu-ibu. Dikatakan
ibu-ibu, karena bentuk badannya yang memiliki tumpukan lemak yang cukup banyak,
terutama di bagian perut, paha, dll.
Dugaan saya, itu tanda bahwa ia pernah hamil dan melahirkan anak. Ada kerutan
di sekitar mata dan kening, bercampur dengan bedak dan lipstik yang serba
tipis. Itu menunjukkan bahwa si ibu-ibu ini memang tak hobi bersolek.
Sekilas,
ia memang terlihat seperti ibu-ibu dari kalangan menengah ke bawah pada
umumnya. Yang membuatnya istimewa, karena ia berhasil membuat prediksi saya tentang kejenuhan di dalam bus kota jadi keliru.
Nyatanya, berada di sisinya memunculkan
suasana hangat. Sepanjang perjalanan, ada dialog yang akrab.
Awalnya
begini, si ibu sedikit mengeluh karena TMB yang kita tumpangi masih saja
ngetem. Lalu saya reflek menanggapi. “Sabar aja bu, nanti juga kalo udah jalan,
TMB bakal lebih cepat dari Damri, soalnya bus ini kan nggak berhenti di
sembarang tempat,” kata saya sok bijak.
Kemudian dialog berlanjut
dengan saling menanyakan hal-hal biasa, di antaranya: mau kemana, dari
mana, dan nanti mau turun di mana.
Saya
lupa lagi bagaimana kemudian suasana obrolan menjadi makin cair. Rupanya, si
Ibu yang belakangan saya tahu bernama Aris, bermaksud ke Tanggerang menjenguk
menantunya yang baru saja melahirkan anak laki-laki tadi pagi. Selanjutnya, ia
banyak bercerita tentang kehidupan rumah tangga, khususnya hubungan antara dia
dan menantu yang baru saya memberikan cucu pertama untuk Bu Aris ini.
Meskipun
ia mengklaim saya sebagai anak “baru kemarin sore”, ia juga memberikan wejangan
tentang tips-tips memilih jodoh yang baik, menjadi
seorang isteri dan ibu yang baik kelak
(waduhh..!!).
Katanya,
untuk memilih jodoh itu, kita harus pintar.
Pilihlah jodoh yang setara: setara
tampangnya, keturunannya, dan harta bendanya. Lebih jauh, ia banyak cerita
tentang adab-adab berumah tangga. Seorang isteri, katanya, harus nurut sama
suaminya. Isteri cerdas itu adalah dia
yang bisa menyenangkan suami, sampai kemudian ia berhasil mengambil hatinya. Isteri harus rajin merawat barang-barang milik suami,
harus menjaga kebersihan dan kerapihan rumah suami, harus melakukan segala hal
atas persetujuan suami, dan tidak boleh membantah ucapan suami.
Begitulah konsep perempuan
yang bahagia versi bu Aris.
“Isteri itu harus hormat, sampai urusan makan, kita nggak
boleh makan mendahului suami,” kata ibu yang satu kampung halaman dengan
Jokowi, Gubernur DKI yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan dengan bersemangat
oleh sejumlah media.
Mendengar
celotehannya, saya lebih banyak diam dan mendengarkan, sambil makan bolu lapis
yang ia tawarkan. Terus terang, dari apa yang ia bicarakan, banyak hal yang
ingin saya kritisi. Tapi rasanya tak pantas memulai perdebatan dengan seorang
ibu-ibu yang tengah berbahagia. Lalu saya putuskan tetap mendengarkan sambil menikmati
bolu lapis dari Bu Aris. Kebetulan
sekali, bu, saya belum sarapan, hehe. Alhasil, dalam waktu singkat 4 potong
bolu dari Bu Aris berpindah ke perut saya.
Benarkah
begitu? Sejak awal, saya masih belum dapat pemahaman yang ajeg tentang klaim
bahwa posisi laki-laki harus lebih tinggi dari pada perempuan, sehingga mesti dihormati. Tadinya
saya pikir, semua yang ia ucapkan adalah konsep kolot yang aneh kedengarannya. Saya tahu, bahwa rumah tangga adalah juga sebuah
organisasi yang mewajibkan memiliki satu pemimpin yang dihormati, yang biasanya
didaulatkan kepada seorang bapak alias suami.
Setelah dipikir lagi, saya rasa
ia sedang ingin mengajarkan tentang pentingnya saling menghormati dan
menyayangi. Gaya kepemimpinan dalam rumah tangga,
siapapun pemimpinnya, harusnya bisa menyamankan semua anggota organisasi rumah
tangga, entah itu isteri, maupun anak-anak mereka (jika ada). Bu Aris mungkin
lupa menyebutkan hal penting lainnya, kalau perempuan harus hormat pada suami,
maka peraturan ini juga berlaku buat suami kepada isterinya.
Di
sini, saya tak sedang membicarakan kesetaraan gender karena saya bukan seorang
pejuang feminisme, hehe. Saya hanya sedikit menyinggung tentang adab interaksi
antarmanusia. Dalam
hubungan antarmanusia, tidak pantas untuk merasa lebih atau merasa kurang dari
yang lainnya. Apapun jenis kelaminnya, manusia dalam
berperilaku harus berdasarkan pada maksud baik untuk menghormati yang lainnya: menghormati fisiknya, pikirannya, tingkah lakunya. Lalu karena rasa sayangnya, sesama manusia akan saling
mengingatkan dan memberitahuakan perkara positif (dengan cara yang paling halus
hingga yang kelihatannya menyakitkan).
Jika pun
seorang perempuan, termasuk Bu Aris, merasa nyaman menghormati suaminya dengan
cara yang ia sebutkan di atas, itu menjadi haknya. Saya yakin ia punya suami
yang jauh lebih menghormati dia, karena sikapnya itu.
Saya
memang punya kesenangan tersendiri saat berbicara dengan orang tua. Anak muda
itu, sesulit apapun, harus sudi mendengarkan kata orang tua dengan sabar dan
hormat. Meski untuk penerapannya tetap kembali pada individu masing-masing. Sedikitnya,
dari umur mereka yang banyak, ada banyak hal yang bisa dipelajari: tentang
wawasan dan kebijaksanaan.
Tentu
saja, berbicara dengannya menimbulkan banyak keuntungan. Pertama, saya jadi tak
jenuh sepanjang perjalanan, mendapatkan banyak nasihat, dan yang paling
penting, saya diberikan banyak limpahan doa: agar selalu dilancarkan prosesi kuliahnya,
diberkahi kehidupannya. Terima kasih.
Mengenang
kejadian tadi membuat saya tersenyum-senyum sendiri. Betapa Tuhan begitu
memperhatikan saya, salah satunya dengan menghadirkan rasa syukur, bahkan dari
kejadian-kejadian yang sepertinya sepele. Kejadian yang dialami manusia memang
banyak yang tak terduga. Meski segunung rencana campur prasangka coba dirancang,
pada akhirnya kita memang hanya makhluk sok tahu yang sebenarnya tidak berdaya.
(ditulis ketika menunggu hujan reda).
Sumber Gambar dari Sini
Sumber Gambar dari Sini
0 Response to "Di Bus Kota"
Posting Komentar