Di rumahmu, sepi ini
damai. Hening. Bolehkah saya pulang, padahal
hari belum petang? Saya pulang, karena hati tengah bimbang. Saya pulang, ketika
air mata mulai menggenang. Saya pulang, dan tengah merasa malang. Saya pulang,
berharap dapat peluk dan sayang.
Mengapa minta izin? Bahkan
pintu rumah itu selalu kamu buka. Adakah Kamu menerima saya? Adakah selama ini
kamu menunggu? Saya jadi malu. Kamu begitu baik hati. Saya makin malu. Rumahmu yang
suci. Tapi saya datang dengan telanjang kaki. Tahukah, sepanjang perjalanan
menuju rumahmu, debu dan kotoran itu melekat di sela-sela jari kaki. Wahai Tuan
Rumah yang baik hati. Saya malah datang untuk mengadu lagi.
Di rumahmu, sepi ini
damai. Hening. Karena saat ini, dunia
terasa begitu menyeramkan. Saya
benar-benar takut. Sangat takut. Seperti seorang diri di dunia. Tatapan mereka
membuat hati lelah. Semua tuntutan mereka serasa berteriak-teriak dan membuat
sakit kepala. Seperti mengatakan bahwa saya hanya pecundang yang tak bisa
melakukan apa-apa. Yang hanya bisa menjadi beban. Rasanya ingin kabur saja.
Saya ingin berlari sejauh-jauhnya. Saya ingin lari ke tempat di mana semua
orang tidak bisa menemukan saya.
“Bumi, tolong telan saja
jasad ini, dan jangan menyisakan apa-apa.”
“Baiklah makhluk mungil,
kamu bisa jadi cemilan lezat!” kata bumi segera menganggapi. Saya terkejut. Pernyataan
saya tadi tak serius. Ternyata bukan hanya sampah saja yang tak boleh dibuang
sembarangan. Tapi, keluh itu pun tak boleh disebut sembarangan, karena hanya
akan mendatangkan celaka. Saya kira telinga bumi ada di mana-mana, sehingga ia
bisa mendengar ucapan saya. Lihatlah, mulutnya mulai menganga. Siap-siap
mengejar saya. Mau menerkam saya.
Pasti kamu mendengar
teriakan saya. Rumahmu sudah berada di depan mata. Saya mengetuk pintumu sambil
lari tergesa. Kamu segera membuka pintu. Menyelamatkan saya. Menyambut saya
dengan sepotong roti, segelas susu, dan semangkuk senyum. Wajah Bumi merengut,
kemudian ia beranjak pergi. Lega.
Di rumahmu, sepi ini
damai. Hening. Saya lapar, saya makan
rotimu. Saya haus, saya minum susumu. Saya menangis, saya nikmati senyummu. Saya
pasrah. Saya tak mau beranjak. Saya ingin berada dalam dekapmu. Selalu di
sisimu.
Di rumahmu, sepi ini
damai. Hening. Dalam hangatnya pelukmu,
bolehkah saya bertanya. Kehidupan macam apa yang sekarang sedang saya jalani? Saya
merasa sejak awal belum merancang arah dan tujuan. Saya seperti lupa akan cita-cita.
Saya bingung akan ke mana lagi arah untuk melangkah? Saya takut tersesat,
sedangkan mimpi saya masih begitu banyak. Tuhan, saya bingung dengan jalan di
depan sana. Saya harap kamu sudi meminjamkan lampu senter. Atau berikan saya
matahari. Agar terang jalanan itu. Karena, jalanan itu terlihat rumit seperti
kaki gurita. Menyeramkan dalam gulita.
Di rumahmu, sepi ini
damai. Hening. Saya menyesal,
kemarin-kemarin pikiran saya hanya dipenuhi oleh bayangan akan manusia itu.
Kasihan, dia seharusnya tak perlu disebut-sebut. Sejak awal, saya yang salah,
dan dia sama sekali tidak tahu apa-apa. Maaf. Ini semua murni disebabkan oleh
saya, pikiran-pikiran saya yang kacau. Menumpuk pikiran-pikiran sampah di
kepala. Mengabaikan urusan-urusan yang seharusnya saya pikirkan, yang harus
saya doakan.
Di rumahmu, sepi ini
damai. Hening. Saya ingin mengajukan lagi
sebuah pinta. Saya ingin membahagiakan orang tua. Saya ingin melihat mereka
tersenyum karena anak-anaknya yang tumbuh dengan bahagia. Setidaknya saya tidak
menjadi beban buat mereka. Setidaknya saya tak mau selalu meminta. Biar. Biarlah
saya kehausan tapi mereka tak perlu tahu. Biarlah saya kebingungan, tapi mereka
tak perlu tahu, sehingga mereka tak perlu khawatir. Saya ingin selalu memberi
kabar bahagia buat mereka, orang baik yang banyak sabarnya.
Di rumahmu, sepi ini
damai. Hening. Tapi saya tahu, tak boleh berlama-lama menjadi tamu. Karena kamu
telah beri saya senyuman, saya pun berpamitan dengan hati yang tenang.
“Melangkahlah dengan hati riang!” katamu sambil menyertai langkahku. selalu.
[] 1 Juli 2013, dengan air mata berlinang, tapi ini bukan cengeng.
Sumber Gambar dari Sini
Sumber Gambar dari Sini
0 Response to "Di Rumah-Mu"
Posting Komentar