22:25 - SEINGAT
saya, ini adalah kali kedua berlama-lama di sebuah tempat paling menyeramkan di
muka bumi. Adalah sebuah bangunan besar yang terdiri dari banyak ruangan dan
kamar-kamar berhawa dingin: Rumah Sakit. berawal dari mengantar teman untuk
memeriksakan kesehatannya, si dokter langsung mengeksekusi dia untuk menjalani
rawat infus seharian penuh.
Saya pun memutuskan untuk menjadi “perawat” amatiran
untuknya, di mana saya dituntut untuk berlaku empati kepada si sakit. Meski
awalnya panik, tak ada pilihan lain, rumah sakit yang sekian lama saya hindari
itu akhirnya harus diakrabi lagi. Keluhan dan ringisan dari teman saya itu makin
menambah kepanikan. Kasihan dia, mesti menerima kesakitan berkedok pengobatan.
Semoga ia tak cepat menyerah. Upaya menuju kesembuhan memang tak mudah. Maka,
tak ada jalan lain selain menahan sakit dan bersabar. Saya juga tak mau
menyerah. Dengan segera saya meyakinkan diri, bahwa ini adalah sebuah
kesempatan istimewa dari Tuhan dalam rangka melatih kesabaran. Kapan lagi sih saya menyengaja peduli pada
orang lain? Hehe.
Alhasil, berlama-lama di sini membuat saya kembali
mengendus beragam bau. Ada bau obat, bau jarum suntik, juga bau parfum bu
Suster. Tapi yang paling menyengat adalah bau kesakitan, kesedihan, keheningan,
juga sedikit bau kebingungan—mungkin bau yang terakhir ini berasal dari bau
orang-orang yang kebingungan dengan biaya rumah sakit yang takterkira-kirakan.
Katanya, sakit adalah kewajaran dalam hidup. Sekuat
apapun kita menolaknya, sakit (fisik) pasti dialami dan pernah dialami oleh
semua manusia dengan berbagai sebab. Bisa karena virus atau bakteri. Bisa juga
karena perilaku buruk sehari-hari. Misalnya kurang tidur, makan sembarangan,
atau stress. Ada juga penyakit warisan dari orang tua. Penyakit yang satu ini
kebanyakan tak bisa ditolak atau dicegah. Tapi dalam kasus-kasus tertentu, disadari
atau tidak, seseorang bisa saja malah menginginkan sakit karena alasan-alasan
tertentu. Misalnya, karena ingin dapat perhatian atau sekeder ingin membuktikan
sesuatu.
Tentu saja, orang sakit akan selalu berupaya menemui
jalan kesembuhan. Meski dilalui dengan munculnya kesakitan yang lain, tapi
sepertinya mereka rela. Sama juga seperti teman saya ini. Ia pasrah dilukai
jarum suntik, merasakan pahit dan bau obat-obatan beserta efek samping yang
ditimbulkannya. Situasi ini kemudian memunculkan sebuah tanya: apakah penawar rasa
sakit adalah rasa sakit itu sendiri? Adakah cara lain untuk terbebas dari
penyakit, selain dengan cara membalas kesakitan dengan kesakitan?
Bahkan untuk jaman sekarang ini, seringkali bukan
hanya kesakitan fisik yang dirasakan untuk menempuh kesembuhan. Tapi juga
kesakitan dalam segi pembiayaan. Saat praktik kedokteran membiasakan dirinya—entah
sejak kapan—menolong si sakit dengan tarif atas nama profesionalisme. Padahal
setahu saya, kemunculan istilah dokter diawali dari mereka yang berupaya
menolong orang sakit dengan teknik-teknik tertentu, dilandasi rasa kasih, menolong
tanpa pamrih. Untuk saat ini, definisi itu sudah tidak populer lagi. Semua tindakan
dokter sudah dibandrol dengan biaya tinggi. Yang lebih parah lagi, ketika
keringat-keringat para dokter dan suster itu belum keluar, mereka sudah pasang harga.
Yaitu ketika calon pasien ingin mengambil nomer antri pemeriksaan.
Tapi kemudian saya memilih untuk pasrah. Saat hal
yang dirasa ganjil sudah dianggap sebagai kelaziman, kita hanya bisa bertanya-tanya
dalam hati. Lagipula, saya tak boleh terlalu antipati. Siapa hari ini yang
tidak butuh uang. Keadaan hari ini sudah sejak lama dikondisikan untuk
menuhankan kertas-kertas yang diklaim “bernilai” itu.
Di lain sisi, mungkin saja ini semua disebabkan oleh
makin banyak orang yang tak tahu diri. Mereka yang seenaknya menggunakan jasa
orang, meminta pertolongan orang, tapi sama sekali tak ingat balas budi.
Ujung-ujungnya malah menyusahkan orang. Endingnya,
muncullah istilah profesional ini. Kita semua saling menjalin hubungan jika itu
“menguntungkan”. Ada uang ada barang. Nilai-nilai kekeluargaan sedikit-demi
sedikit hilang. Banyak jarak, sekat, pelabelan, juga uang.
Ngomong-ngomong, saya menulis ini untuk apa ya? Saya
juga bingung sebenarnya. Awalnya memang iseng-iseng daripada melamunkan suster
ngesot atau pocong yang mungkin saja sedang berkeliaran di sekitar sini. Sudahlah,
semakin banyak saya menulis malah jadi makin ngelantur. Baiknya segera membuat
epilog, lalu mulai memikirkan hikmah. Segala
sesuatu (kata Aa Gym) selalu mengandung hikmah, bukan?
Memikirkan rasa sakit dan upaya penyembuhannya,
membuat saya lebih menegaskan diri untuk sebisa mungkin menjauhkan diri dari
penyakit dan Rumah Sakit. Saya juga belajar untuk sabar dan berani menghadapi
rasa takut di Rumah Sakit. Menjalani semua hal lalu meyakininya dengan
kebaikan, adalah cara paling nyaman untuk menikmati dunia.
Akhir kata, sebagaimana lazimnya seseorang yang
berdoa ketika menjenguk temannya yang sakit: Semoga Lekas Sembuh. Nikmati saja
episode kehidupan yang kurang mengenakan ini. Saya senang, karena dalam proses
ini, Anda masih menunjukkan secarik senyum. [15
Januari 2012, Hujan gerimis terus
saja merintik. Lalu tiba-tiba kebayang sesosok
pocong keluar dari balik pintu bangsal].
Sumber Gambar dari Sini
Sumber Gambar dari Sini
0 Response to "Di Rumah Sakit"
Posting Komentar