Jemari yang kaku di atas keyboard, bersama mata yang menatap
layar dengan kebingungan. Bagi saya, itulah situasi yang paling mengenaskan bagi
seorang manusia. Sialnya, hal tersebut justru sedang saya alami saat ini. Dipicu
dorongan untuk bertaubat. karena telah banyak waktu yang berlalu tanpa menulis:
merefleksikan diri.
Tiba-tiba saja keinginan itu muncul. Ketika hari ini, sekali
lagi saya menyadari bahwa Allah begitu sangat menolong kegiatan saya seharian
ini. Ketika itu, saya menyadari bahwa selama ini benar-benar kurang syukur. Selalu
saja mengeluhkan apa yang dirasa kurang. Padahal nikmat yang diberikan-Nya
sudah lebih dari sempurna. Sesuai kebutuhan Hambanya.
Hari ini, Allah memberikan rehat yang cukup panjang. Dan
tiba-tiba ... “Ting”, seolah ada lampu bohlam menyala-nyala di kepala. Menyuruh
saya untuk menulis. Karena menulis adalah salah satu bentuk rasa syukur.
Ya, seharusnya saya segera insyaf kalau kemampuan menulis
bisa tumpul jika tak diasah. Bukan berarti sebelumnya saya sudah mahir menulis.
Tapi jika tidak dilatih, mana bisa saya mencapai tahap mahir. Mahir dalam hal
ini ialah merasa percaya diri dengan apa yang dituliskan. Tapi kondisinya malah
mengenaskan begini. Sempat melamun beberapa menit, tak tahu apa yang harus
ditulis.
Seorang senior dari kampus pernah menasihati agar saya aktif
menulis. Awalnya, ia bertanya apakah saya punya blog atau tidak. Saya jawab,
Ya. Tapi lebih lanjut, saya benar-benar minder. Ia orang pertama yang meminta
alamat blog saya. Entah buat apa, tapi saya benar-benar minder waktu itu. Blog saya
seperti rumah tua yang tak pernah diurusi. seperti banyak debu dan sarang
laba-laba saking terabaikannya.
Jika ingin dibandingkan, blog milik si kakak senior
berkualitas, bisa menambah wawasan, fokus, terpilah. Tulisannya juga bagus-bagus.
Sementara milik saya tak pernah diurusi. karena terlalu malas dan bodoh. Sangat
bertolak belakang. Banyak fiksi, banyak alay. Haha .... saya juga tak menyangka
bisa diberi kesempatan untuk mengobrol dan diskusi dengannya. Dia itu tak suka merendahkan orang, makanya dia punya banyak teman.
***
Jadi, mari kita menulis tentang kegiatan saya sekarang ini. Seperti
kebanyakan orang, setelah melewati pendidikan di kampus UIN Bandung, lanjutlah
saya mencari kerja. Singkat cerita, saya yang sebelumnya menjadi outsource
inhouse di salah satu penerbit Bandung mengajukan diri untuk menjadi outsource
outhouse saja. Karena jujur saja, mungkin saya tak begitu cocok bekerja di
sana. lalu saya mulai melamar kerja di perusahaan media. Singkat cerita, jadilah
saya seorang pencari berita. Tiap hari wajib kirim tiga berita ke redaksi
perusahaan media tersebut.
Kata salah seorang teman, kehidupan saya sehari-hari saat
ini dipenuhi dengan kesibukan. Ya, sejak 43 hari yang lalu, saya memang harus
selalu menulis di bawah tekanan deadline harian. Tidak sekadar menulis. Saya harus
menuliskan kejadian-kejadian yang dianggap penting sehari-hari. mereka menyebut
kegiatan ini dengan “Liputan”. Apalah namanya itu. Yang jelas, kegiatan saya
yang sekarang ini merupakan pelajaran dalam perjalanan. Cukup menantang,
terkadang mengagetkan, melelahkan, tapi juga membahagiakan.
Akhir-akhir ini, tengah berlatih menulis untuk konsumsi
media massa, tepatnya koran. Saya dinasihati untuk menulis dengan
singkat-singkat. Karena koran dibuat bagi pembaca yang sibuk. Mungkin karena
saya terlalu lambat membaca situasi, atau kurang peka dengan apa yang ingin
diketahui khalayak. Jadinya, tulisan saya sempat dikritik pimpinan redaksi di
kantor. Karenanya, terima kasih kepada mereka karena mau mengajari saya. Semoga
bapak-bapak itu selalu sabar menghadapi saya.
Dalam proses ini, tak jarang saya merasa bodoh. Saya merasa
ingin menyerah atau kabur saja. Minder pula karena bekerja dengan tidak
maksimal. Maka, alasan saya masih bertahan sekarang, ialah karena Allah yang
memberi kekuatan. Terima kasih.
Kadang saya juga sedih. Semua orang yang mengaku “peduli”,
berkali-kali menyayangkan pilihan saya sebagai reporter surat kabar. Beberapa di
antara mereka bahkan menilai saya terlalu memaksakan diri. Terobsesi dengan cita-cita,
tapi malah menysahkan diri sendiri. Padahal seingat saya, saya tak pernah
mengeluh ini itu atas profesi yang tengah saya jalani ini. Entah karena melihat
saya yang kurus semakin kurus, atau karena keadaan saya yang berbeda, mereka
lantas merasa iba.
Saya juga sebenarnya tidak pernah bercita-cita menjadi seorang
jurnalis. Soal obsesi? Apalah yang jadi obsesi seorang “Nia”? Mereka tidak
tahu, kalau sebenarnya saya tak memilih apapun. Saya hanya mengikuti aliran
takdir. Bergerak tanpa perencanaan, tapi kemudian mencapai titik ini. Mungkin
cara berpikir saya salah.
Ketika semua orang muda penuh semangat dan merancang masa
depan mereka. Kebanyakan dari mereka bahkan menentukan langkah-langkah secara
spesifik menuju cita-cita itu. Tapi saya hanya seperti daun jatuh yang berenang
di atas aliran sungai, atau melayang ditiup angin. benar-benar perbuatan yang
tak layak tiru. :-P
Tapi, bukan berarti saya terpaksa atau tak ingin jadi reporter.
Saya hanya ingin menjalani semua yang diberikan Allah. Karena lebih baik
bergerak dari pada berdiam diri. Meski menjadi reporter itu, katanya, banyak
tantangannya. Selain ada panas dan hujan yang harus diterabas, rute jalanan dan
narasumber yang serba asing, juga amplop-amplop bergentayangan. Tapi tantangan
terbesar justru berasal dari diri sendiri. Ketika merasa terasingkan karena
memulai semuanya dengan perbedaan. Sayalah satu-satunya wartawan yang “ngangkot”.
Ya, ketika liburan seminggu sekali, saya berlatih motor,
seperti bayi yang mulai belajar jalan. Ada jalanan yang harus diperhatikan, ada
jatuh dan luka di tengah ketakutan. Ada pula rasa iri ketika anak-anak SMP melenggang
lancar dengan motor mereka. Rasanya melelahkan, tapi yakini saja, latihan ini akan
membuat saya tak jadi pengecut. Terkadang saya ingin menyerah. tapi ketika
melihat wajah orang tua, saya mencoba melupakannya. Mencoba menjalani semuanya
tanpa banyak memikirkan apa-apa.
***
Pada akhirnya, saya benar-benar tak menyangka kalau waktu
berlalu begitu cepat. Dalam proses itu, saya ternyata masih baik-baik saja. Terima
kasih. Intinya, hidup itu harus dijalani saja. Dengan baik, dengan elegan. Jika
sedang mengalami kesulitan, tidak usah panik, karena Allah sudah menjamin
keselamatan kita. (menasihati diri sendiri). Wabillahi taufik walhidayah.
Wasalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. J
Sumber Gambar dari Sini
0 Response to "Ngecapruk"
Posting Komentar