Adhisa melangkah dengan gelisah. Ia harus segera bergegas
sebelum semuanya terlambat. Jalan dan trotoar yang dipijaknya basah. Sebab
hujan tengah turun begitu deras. Ia tak peduli meski pakaiannya menjadi
setengah kuyup. Sebentar lagi ia bisa berteduh. Karena stasiun yang ditujunya
sudah tinggal beberapa langkah lagi.
Namun kerumunan tukang ojek bercampur deretan pedagang kaki
lima, pedagang asongan dan para peminta-minta agak menghambat langkahnya.
Mereka sibuk bertanya berulang-ulang kepada siapapun yang lalu lalang,
menawarkan jasa dan barang dagangan. Ada tukang ojeg yang tersenyum bosan
sambil menawarkan tumpangan. Ada tukang gorengan dan cilok yang menawarkan
kehangatan. Pun tukang minta-minta yang mempromosikan kemelaratan.
Diperhatikannya, kebanyakan dari para pedagang itu menggunakan payung atau plastik. Bukan untuk melindungi kepala dan tubuhnya dari basah melainkan menjaga barang dagangannya agar tidak rusak oleh air hujan. Kalau rusak, siapa mau beli. Yang ada mereka bisa pusing karena modal tak kembali. Peduli amat dengan panas dan hujan. Ini cara mereka mencari penghidupan. Bersama peluh dan napas yang tersengal. Dengan caranya yang khas, merekalah "pejuang" jalanan.
Orang kecil tak boleh sakit. Begitulah peraturannya. Mereka punya cukup tenaga untuk mengumpulkan receh yang bisa dibawa pulang untuk keluarga di rumah. Memang ada sebagian yang pemalas sehingga menjadi pemaksa atau penipu. Tapi setiap orang harusnya tahu, mana pejuang jalanan sejati, dan mana yang berengsek. Kerumunan itu terdiri dari individu-individu dengan masing-masing garis rezekinya. Tapi orang baik akan selalu menemui keberuntungan.
Beruntung, Adhisa berbadan mungil. Ia pun lincah menyelinap menerobos padatnya kerumunan. Lantas menjangkau terminal yang tak kalah ramai. Baik di antrean pembelian tiket kartu uang maupun di gerbang masuk. Suara petugas kereta mengumumkan lewat pengeras suara, bahwa kereta sebentar lagi akan berangkat. Sementara ia masih tertahan dalam antrean masuk stasiun. Tak berapa lama, ponselnya bergetar tanda pesan masuk.
"Kereta sebentar lagi tiba, Adisha, maaf, kamu gak perlu menyesal karena mungkin kita ga akan bertemu lagi," kata si pengirim SMS dalam pesannya.
Membaca pesan itu, dahi Adisha mengerut sembari mengetik pesan balasan.
"Aku sudah di stasiun, tolong tunggu sebentar."
Lantas, tak ada pesan balasan. Dalam hati, Adisha berharap seseorang yang tengah dikejarnya itu dapat ia jangkau. Sebelum ia naik dan dibawa lari kereta pagi.
Tiket telah dibeli. Tapi antrean masuk pun sungguh menguras kesabaran. "Sialan!" Ia menyerapah. Pasalnya, seorang ibu yang ada di antrean depan tampak kesulitan membuka palang stasiun denga kartu uang. Otomatis, antrean tertahan. Pantas saja, kartu uang ia tempel tak tepat sehingga sensor tak merespons dan membuka palang. Tak lama petugas datang membantu. Si ibu pun berhasil masuk dan berhasil menghambat pengejarannya beberapa detik.
Palang terlewati, hingga beberapa meter di hadapannya, kereta sudah tiba dan membuka pintu-pintu gerbongnya serempak. Disaksikannya, gerombolan manusia dari dalam kereta seperti tumpah, beradu dengan calon penumpang di luar kereta yang berebut minta masuk lebih dulu. Berdesakan, saling dorong. Pemandangan yang amat sangat biasa di Ibu Kota. Siapa kuat, dialah yang menang--dalam artian dapat tempat di dalam kereta. Syukur-syukur dapat tempat duduk. Begitulah manusia ibu kota. Entah di bus entah di kereta. Mereka telah terbiasa.
Sebab mengeluh tak ada gunanya. Kalau ingin nyaman bertransportasi, silakan naik taxi atau mobil pribadi. Kamu tak perlu capek mengantre membeli tiket atau berdesakan di kereta. Syaratnya, kamu harus punya cukup uang di saku, karena bayarannya pasti berkali-kali lipat dari ongkos kereta. Sayangnya, tak banyak manusia ibu kota yang berdompet tebal. Kebanyakan mereka ialah para buruh yang berangkat pagi pulang petang. Bertahan di ibu kota dengan gaji yang habis sebulan.
Maka beredarlah manusia-manusia yang tak sabar di jalanan. Pun manusia-manusia yang melampiaskan lelahnya di akhir pekan, mencari bahagia dengan mengunjungi pusat perbelanjaan. Lalu bekerja lagi, belanja lagi, makan enak lagi, berhemat di tanggal tua lagi, berdesakan di kereta lagi. Begitu berulang-ulang hingga mereka tua.
Adisha tak peduli dengan kelakuan para penumpang yang tak terkikis kebrutalannya itu. Toh ia pun bagian dari mereka. Penduduk kota yang mengandalkan transportasi massal untuk pergi bekerja.
Diperhatikannya, kebanyakan dari para pedagang itu menggunakan payung atau plastik. Bukan untuk melindungi kepala dan tubuhnya dari basah melainkan menjaga barang dagangannya agar tidak rusak oleh air hujan. Kalau rusak, siapa mau beli. Yang ada mereka bisa pusing karena modal tak kembali. Peduli amat dengan panas dan hujan. Ini cara mereka mencari penghidupan. Bersama peluh dan napas yang tersengal. Dengan caranya yang khas, merekalah "pejuang" jalanan.
Orang kecil tak boleh sakit. Begitulah peraturannya. Mereka punya cukup tenaga untuk mengumpulkan receh yang bisa dibawa pulang untuk keluarga di rumah. Memang ada sebagian yang pemalas sehingga menjadi pemaksa atau penipu. Tapi setiap orang harusnya tahu, mana pejuang jalanan sejati, dan mana yang berengsek. Kerumunan itu terdiri dari individu-individu dengan masing-masing garis rezekinya. Tapi orang baik akan selalu menemui keberuntungan.
Beruntung, Adhisa berbadan mungil. Ia pun lincah menyelinap menerobos padatnya kerumunan. Lantas menjangkau terminal yang tak kalah ramai. Baik di antrean pembelian tiket kartu uang maupun di gerbang masuk. Suara petugas kereta mengumumkan lewat pengeras suara, bahwa kereta sebentar lagi akan berangkat. Sementara ia masih tertahan dalam antrean masuk stasiun. Tak berapa lama, ponselnya bergetar tanda pesan masuk.
"Kereta sebentar lagi tiba, Adisha, maaf, kamu gak perlu menyesal karena mungkin kita ga akan bertemu lagi," kata si pengirim SMS dalam pesannya.
Membaca pesan itu, dahi Adisha mengerut sembari mengetik pesan balasan.
"Aku sudah di stasiun, tolong tunggu sebentar."
Lantas, tak ada pesan balasan. Dalam hati, Adisha berharap seseorang yang tengah dikejarnya itu dapat ia jangkau. Sebelum ia naik dan dibawa lari kereta pagi.
Tiket telah dibeli. Tapi antrean masuk pun sungguh menguras kesabaran. "Sialan!" Ia menyerapah. Pasalnya, seorang ibu yang ada di antrean depan tampak kesulitan membuka palang stasiun denga kartu uang. Otomatis, antrean tertahan. Pantas saja, kartu uang ia tempel tak tepat sehingga sensor tak merespons dan membuka palang. Tak lama petugas datang membantu. Si ibu pun berhasil masuk dan berhasil menghambat pengejarannya beberapa detik.
Palang terlewati, hingga beberapa meter di hadapannya, kereta sudah tiba dan membuka pintu-pintu gerbongnya serempak. Disaksikannya, gerombolan manusia dari dalam kereta seperti tumpah, beradu dengan calon penumpang di luar kereta yang berebut minta masuk lebih dulu. Berdesakan, saling dorong. Pemandangan yang amat sangat biasa di Ibu Kota. Siapa kuat, dialah yang menang--dalam artian dapat tempat di dalam kereta. Syukur-syukur dapat tempat duduk. Begitulah manusia ibu kota. Entah di bus entah di kereta. Mereka telah terbiasa.
Sebab mengeluh tak ada gunanya. Kalau ingin nyaman bertransportasi, silakan naik taxi atau mobil pribadi. Kamu tak perlu capek mengantre membeli tiket atau berdesakan di kereta. Syaratnya, kamu harus punya cukup uang di saku, karena bayarannya pasti berkali-kali lipat dari ongkos kereta. Sayangnya, tak banyak manusia ibu kota yang berdompet tebal. Kebanyakan mereka ialah para buruh yang berangkat pagi pulang petang. Bertahan di ibu kota dengan gaji yang habis sebulan.
Maka beredarlah manusia-manusia yang tak sabar di jalanan. Pun manusia-manusia yang melampiaskan lelahnya di akhir pekan, mencari bahagia dengan mengunjungi pusat perbelanjaan. Lalu bekerja lagi, belanja lagi, makan enak lagi, berhemat di tanggal tua lagi, berdesakan di kereta lagi. Begitu berulang-ulang hingga mereka tua.
Adisha tak peduli dengan kelakuan para penumpang yang tak terkikis kebrutalannya itu. Toh ia pun bagian dari mereka. Penduduk kota yang mengandalkan transportasi massal untuk pergi bekerja.
Ia tak peduli, sebab fokusnya saat ini adalah seseorang yang
mengiriminya pesan singkat beberapa saat yang lalu.
Matanya menyapu sekeliling. Seharusnya pengirim pesan tadi
ada di antara kerumunan manusia yang akan siap berdesakan di dalam kereta pagi.
Tapi sang pengirim pesan tak tampak di mana pun. Adisha segera memungut
ponselnya lagi. Menelepon. Sebelum pintu kereta tertutup.
Beberapa detik kemudian tersambung ke nomor tujuan.
"Di mana? Aku udah di depan kereta juga, di deretan
gerbong ketiga."
Tak ada jawaban.
"Tolong jangan dulu masuk kereta."
Masih tak ada jawaban.
"Hei!! Kamu tuli atau emang mendadak ga bisa bicara
sih?
"..."
Bentakannya efektif. Akhirnya ada jawaban.
"Aku sudah di dalam kereta, maaf."
Hening beberapa detik seiring pintu gerbong kereta yang
menutup serempak. Adisha lemas.
"Kamu tidak perlu mengejarku lagi, percuma, semuanya
sudah selesai, selamat tinggal," kata sang pengirim pesan. Perlahan, deru
mesin kereta terdengar. Makin lama makin bising. Kereta mulai berlari. Iakah
benar-benar pergi.
Adisha terdiam. Menghela napas dalam-dalam.
***
Namanya Andika. Seseorang yang baru saja ia kejar, namun tak
terjangkau. Kereta telah berlalu pergi. Tak mungkin berhenti, kecuali di
stasiun selanjutnya. Adisha pun memutuskan untuk menyerah. Pakaiannya masih
kuyup. Mungkin memang sudah seharusnya sahabatnya itu pergi. Ia dapat beasiswa
bergengsi belajar ke luar negeri. Hari ini ia dijadwalkan naik pesawat merek
Gagak Air pukul delapan pagi.
Ada cita-cita dan serangkaian obsesi yang ingin ia kejar.
Makanya meski hujan mengguyur, sahabatnya itu tetap pergi mengejar pesawat
pagi. Agar tak ketinggalan pesawat dan gagal berangkat.
Seharusnya Adhisa tak perlu susah payah mengejarnya.
Seharusnya ia mendukung rencana perjalanan sahabatnya ke arah kemajuan.
Bukan. Bukan karena ia gadis manja yang tak mau ditinggal
sahabat tercinta. Bukan pula karena sampai detik ini ia tak mengucapkan selamat
dan doa perpisahan. Adisha meyakini bahwa ia bukan pelaku sinetron atau film
picisan, di mana lakon utama rela hujan-hujanan, berteriak dan berlari mengejar
pesawat, berharap dapat mencegah kepergian orang yang ia sayang.
Bukan pula karena rasa bersalahnya pada Andika sebab
kejadian kemarin sore. Andika ketika itu datang ke rumahnya, menuntut ucapan
selamat tinggal sekaligus doa. Tapi Adisha malah diam dan masuk kamar begitu
saja.
Maka, jadilah Andika berangkat dengan sejumlah tanya dan
kecewa. Adakah Adisha hanya bingung bagaimana melepas kepergiannya. Padahal
Adisha yang ia kenal bukanlah tipe orang yang senang merumitkan situasi. Meski
Adisha pandai menyembunyikan perasaannya, tapi ia tak pernah begitu memaksa
seperti barusan. Adisha lebih suka menggunakan isyarat ketimbang kata. Padahal
ia tak gagu. Ia hanya pelit bicara. Akhirnya, Andika hanya berpamitan dengan
kedua orangtuanya saja.
Bukan. Sama sekali Adisha pagi ini datang ke stasiun karena
merasa perlu mengucapkan kata perpisahan ataupun merasa bersalah ingin minta
dimaafkan. Ia pergi bukan karena apapun. Ia hanya merasa harus pergi. Seiring
kereta yang pergi, hujan berganti gerimis.
Selama ini Adisha meyakini, yang pergi biarlah pergi. Tak
perlulah ada dramatisasi yang hanya akan membuat lelah hati. Jika akan pergi
untuk selamanya pun, itu sudah jadi kehendak ilahi. Semua orang harus ikhlas
menerima sekaligus melepaskan segala sesuatu yang merasa telah dimiliki.
***
"Hei!"
Seseorang memanggilnya dari belakang. Dari suaranya,
terdengar seperti Andika. Dan ketika Adisha menoleh pun, wajahnya tampak
seperti wajah Andika. Ialah itu memang benar-benar Andika yang memasang senyum
penasaran. Ia berdiri agak canggung. Tanpakopor mini berwarna biru tua dan tas
selempang yang barusan dibawanya.
Lagi. Adisha terdiam. Menghela napas dalam-dalam.
***
"Ini baru pertama kalinya aku lihat kamu dengan muka
putus asa. Apa berat banget ya hidup tanpa aku," Andika menggoda. Diakhiri
tawa. Namun sesungguhnya ia hanya menutupi rasa lega. Karena wajah Adhisa yang
pucat kini berangsur merona. Ia juga lega, karena ia seharusnya mendengarkan permintaan Adisha. Agar tidak naik kereta pagi ini.
"Dasar bodoh! Kenapa tidak naik kereta saja? Kamu seharusnya
sudah ketinggalan pesawat," Adisha berusaha bersikap biasa. Tapi matanya mulai berlinang air mata.
"Loh, ini semua gara-gara kamu," jawab Andika.
"Setidaknya kamu bisa berangkat dengan penerbangan selanjutnya, teman,"
kata Adhisa datar. Membuang muka.
"Maksudnya, kamu mau aku tetap berangkat?"
"Tentu saja, di sini kamu terlalu mengganggu."
Andika tahu, kata-kata itu bermakna sebaliknya. Matanya
mengaku, bahwa Adisha merasa berat ditinggalkannya pergi. "Haha, beginilah
jadinya kalau kelewat percaya diri," gumam Andika dalam hati.
"Kalau kamu mau, aku bisa saja tidak jadi mengambil
beasiswa itu. Jika saja kamu kemarin sore meminta aku agar tidak pergi, aku
nggak akan pergi."
"Tidak ada yang bisa mencegah kamu pergi, selain dirimu sendiri."
"Aku serius. Kamu hanya perlu meminta aku untuk tidak
pergi."
"Aku hanya meminta kamu untuk tidak naik kereta pagi
ini."
"Lalu untuk apa kelakuan barusan? Bangun pagi,
hujan-hujanan dan basah kuyup mengejar kereta?"
Adhisa terdiam. Ia tahu, pertanyaan itu pasti diajukan juga. Adakah ia harus mengaku? Tidak. Itu mustahil. Seharuanya Andika mengerti. Seharusnya Andika tak perlu bertanya kenapa.
Adhisa terdiam. Ia tahu, pertanyaan itu pasti diajukan juga. Adakah ia harus mengaku? Tidak. Itu mustahil. Seharuanya Andika mengerti. Seharusnya Andika tak perlu bertanya kenapa.
Lima belas menit mereka terdiam. Mendengarkan hujan yang
kembali deras.
"Baiklah." Andika mengalah dan kembali membuka
percakapan. Sebelumnya, tangannya merogoh tas dan mengeluarkan sebuah buku
bersampul hijau lumut. "Ini kan yang kamu mau? Ini, bukumu, maaf baru
dikembalikan, soalnya baru tamat dibaca semalam," katanya. Andika lantas meletakkan buku itu di atas bangku. Setelah itu, tanpa banyak kata, ia pergi.
Sejenak, senyum Adhisa terkembang. Tapi air matanya masih berlinang. Ia tak bisa lagi mencegah kepergian Andika. Namun, selalu ada alasan dari semua
perbuatan. Entah itu dikarang-karang ataupun betulan, alasan membuat semua
orang yakin akan apa yang diperbuatnya.
***
Langit tengah hari masih digerayangi awan hitam. Sesekali
petir menyala disusul geledek yang mengejutkan telinga. Kabar buruk disampaikan
berita di televisi. Pesawat Gagak Air yang berangkat hari ini pukul delapan
pagi dilaporkan hilang kontak.
Semua orang cemas, terutama keluarga dan sahabat-sahabat
para penumpang pesawat hilang. Selebihnya tercengang karena semua orang waras
pastinya akan merasa miris mendengar musibah. Meski tetap saja, beberapa yang
tak waras kerap menjadikan musibah sebagai sarana humor dan cari untung belaka.
Tim pencari mulai diturunkan. Hanya tinggal menunggu waktu
saja, hingga berita selanjutnya menayangkan perkembangan terbaru soal kondisi
pesawat hilang. Ada dua kemungkinan. Apakah ditemukannya bangkai pesawat
beserta para korban di tengah lautan, atau mereka semua hilang tak berjejak.
01012015
0 Response to "[CERPEN] Mengejar Andika "
Posting Komentar