![]() |
Sumber Gambar dari Sini |
Tak perlu cemas akan pulang terlambat, sebab senja akan menjemput
kita ketika lelah. Kamu juga tak perlu khawatir akan pulang dengan kondisi
lelah, sebab aku berniat mengakhiri permainan ini dengan mengajakmu duduk
berdampingan di tepi danau yang airnya tenang. Setelah itu, aku akan
mengantarmu pulang sebelum matahari tenggelam.
Nanda, Ingatkah saat kita pertama kali bertemu? Kala itu kamu masih
berusia lima dan rambutnya dikuncir dua. Aku mendapatimu menangis setelah jatuh
dari sepeda. Lututmu robek dan mengeluarkan darah segar terus-menerus. Aku yang
sedang asyik menggembala kambing segera berlari menujumu, berusaha menghentikan
tangismu sembari menutup lupa di lututmu.
Setelah kejadian itu, kamu seperti buntut atau mungkin bayanganku.
Kamu selalu menempel dan bergantung padaku. Hingga waktu berlalu bertahun-tahun
kemudian dan kita sama-sama beranjak dewasa. Perasaan sayang itu berganti
menjadi cinta. Orang-orang pikir kamulah yang membutuhkanku.
Padahal akulah yang membutuhkanmu untuk selalu bergantung padaku.
Jika kamu menjadi mandiri suatu hari nanti, hatiku pasti tak akan rela karena sejak
awal dan sampai kapanpun, hanya akulah yang harusnya jadi tempat segala
pengharapanmu.
Tapi perasaan malu melarangku berlaku jujur mengungkapkan rasa
cinta itu. Hari-hari kita jalani dengan biasa-biasa saja. Kamu yang tadinya
banyak bertanya tentang khayalan-khayalan konyol, kini berganti topik menjadi ala-ala
remaja yang baru beranjak dewasa. Kamu mulai menggunakan istilah “Gebetan”, “Galau”
dan “Baper”. Pertanyaan-pertanyaamu kujawab seenaknya dengan melontarkan lagi
kisah tentang para bidadari.
Hingga suatu hari kamu melontarkan hal yang membuatku terpukul
sekaligus penasaran. Kurasa saat itulah awal perpisahan kita dimulai.
“Berhentilah bercerita. Aku bukanlah seorang bocah yang
terus-menerus bisa kau bohongi. Negeri bidadari adalah mimpi.” itu katamu kala
itu, Nanda. Kamu bilang begitu sambil menangis, membuat hatiku tersentak,
tersayat, luka.
“Bisakah kau menjadikanku bidadari seperti yang kau ceritakan?
Yang tak pernah pakai topeng kebusukan? Mengapa pula di sana tak ada usik
prasangka dan kesepian? Begitu bahagianya menjadi bidadari, begitu ringannya
berbohong selama bertahun-tahun,” katamu lagi.
Nanda, kau tak tahu bahwa saat itu mulutku tiba-tiba terkunci.
Cerita-ceritaku selama ini rupanya membuatmu terus menumpuk tanya dari hari ke
hari. Membuatmu makin benci karena memendam iri pada sang bidadari. Aku tak
bermaksud begitu. Niat baik terlalu sering disalahartikan. Tapi aku mencintaimu
dengan tulus. Maka dari itu, sama sekali aku tak berniat untuk marah karena kamu
menganggapku seorang pembohong.
Setiap orang punya sisi gelap dan terang. Kuanggap itu adalah
salah satu sisi gelapmu, yang harus kuterima sebagai konsekuensi dari rasa
cinta ini. Kebanyakan dari kita bersmbunyi dan memakai topeng. Aku, kamu, dan
semua orang, menampilkan diri sebagai orang yang baik hati dan tidak sombong
serta rajin menabung. Lalu apa salahnya pakai topeng? Toh kita bukanlah
malaikat. Sisi gelapmu, biarlah kutelan sendiri, agar ia lenyap melewati
tenggorokan dan usus besarku.
Maka Nanda, dengarlah! Kali ini aku akan menyampaikan sebuah
rahasia padamu. Rahasia bahwa bangsa manusia bisa menjelma menjadi bidadari
yang sempurna dengan menempuh beberapa tahapan.
Inilah langkah pertamanya, yaitu melenyapkan sisi gelap. Maka
inilah yang kulakukan. Dengan mengambil sisi gelapmu, aku telah memulai langkah
dalam rangka menjelmakanmu menjadi seorang bidadari.
Sayangnya, setelah ini aku harus pergi meninggalkanmu. Aku akan
mencari sang ratu bidadari dan menanyakan langkah selanjutnya. Aku berjanji tak
akan pergi terlalu lama. Pesanku Nanda, jangan terlalu cepat menyerah. Meski
tak beruntung karena tak dilahirkan sebagai bidadari, tak perlu takut dengan
semua prasangka itu.
Jelas saja, kamu bukan siluman mimpi atau sang pengendali pikiran.
Biarkanlah semua orang berpikir apapun tentangmu. Itu tandanya kamu
diperhatikan. Kenapa pula merasa sendiri? Apa kau meragukan kesetiaanku?
Percayakah, bahwa aku akan selalu ada mendampingimu.
***
Nanda, setelah kuutarakan rahasia yang tak lengkap itu, mengapa
kau masih bermuram durja? Kamu melulu memandangi bebatuan bisu dari balik
jendela? Tidakkah kau senang dengan kepergianku?
Setiap orang datang dan pergi dengan caranya masing-masing. Tak
perlu banyak menuntut, karena kita bukanlah pemegang kekuasaan mutlak.
Lagipula, bukankah kau tak percaya lagi padaku?
Ini sudah kali ke tujuh sejak musim semi berlalu. Tuan ratu
bidadari terlalu pelit untuk memberitahu. Katanya, ini rahasia langit. Saat itu
aku terus memohon padanya, dan dia marah lantas mengusirku. Dengan segenap
harapan yang masih tersisa, aku kembali. Mencari Nanda kekasihku, tapi tak
punya nyali untuk bertemu lagi. Malu. Mulai merasa ragu atas apa yang selama
ini kulakukan. Perjalananku mungkinkah hanya sia-sia belaka?
Suatu hari sepulang dari perjalanan bertemu ratu bidadari, aku
memberanikan diri untuk mengajakmu pulang ke taman kita. tapi apa yang
kudapatkan. Kau seenaknya marah dan mengusirku. Kau bilang jengkel atas
kelakuanku yang mempertanyakan sikap dan tingkah lakumu. Nanda, salahkah jika
aku bertanya, mengapa melakukan ini dan itu? Aku hanya berusaha
memperhatikanmu. Kau tak seharusnya jengah dengan janji-janjiku. Kenapa pula
menuntut pemenuhan janji. Tidakkah kau hargai proses dan perjuangan atas nama
cinta ini?
Aku tak akan menangis karena penolakanmu, Nanda. Saat kau bilang
tak mau ikut bersamaku memetik bunga dan menyambut musim semi. Sekarang kau
sama seperti semua orang, tak melihat kuncup-kuncup yang tengah bersiap mekar
menjadi bunga. “Musim semi adalah sebuah kemustahilan,” katamu.
Cinta memang melelahkan. Saat aku pergi untuk cintaku, dalam
perjalanan menemui ratu bidadari, akhirnya malah tak menghasilkan apapun. Yang
tersisa hanya ucapan selamat tinggal pada kenangan darimu. Bodohnya, kuputuskan
melewati hari dengan penggerutuan tentangmu. Aku sadar, selama kebersamaan yang
kita jalani dulu, aku selalu menuntutmu untuk menjadi sempurna, menjadi
bidadari. Makanya aku kerap berkisah tentang bidadari-bidadari surga. Tapi
sampai kapanpun kau tak akan pernah mengerti, ini semua kulakukan demi
kebahagiaanmu.
Nyatanya, kau masih menjauhiku, tak percaya padaku. Tahukah,
sikapmu itu telah menghancurkanku. Tapi karena aku mencintaimu dengan tulus,
maka aku akan pergi dengan sebuah pesan yang harus kau yakini. Bahwa tak ada
jalan untuk kembali.
Sekarang aku benar-benar akan pulang, bersama senja. Setidaknya,
ia akan selalu datang dengan cahaya mega yang merona. (Sabtu malam, 10
Februari 2012, ketika langit terlihat suram akibat gerimis tadi sore).
0 Response to "[CERPEN] Pulang Bersama Senja"
Posting Komentar