![]() |
Sumber Gambar: Pixabay.com |
Berdisiplin sampai saat ini masih dipandang sebagai perilaku
yang ideal. Sebab ideal, ia akan bisa dikuasai dengan segenap perjuangan yang
tidak sebentar, serta tantangan yang terus-terusan datang. Karena dihasilkan
dari hasil perjuangan, disiplin akan berbuah manis. Di mana kamu nantinya akan
punya kemampuan untuk menata diri, waktu dan masa depanmu. Kamu juga berpeluang
punya kualitas yang berharga lantas bisa diapresiasi secara luas oleh publik.
Disiplin pada aktivitas tertentu idealnya diterapkan
sepanjang waktu, dilakukan di waktu tertentu, tapi berlangsung terus-menerus.
Termasuk dalam kegiatan menulis, di mana kita membiasakan diri menuangkan
gagasan dan pikiran kita ke dalam bentuk tulisan (Artikel, Cerpen, Novel, Puisi
dan karya sastra lainnya).
Idealnya kita sebagai manusia bisa menyempatkan diri untuk
memproduksi tulisan setiap hari. Disiplin menulis tidak mementingkan kuantitas,
tapi kualitas dan keberlanjutan aktivitas tersebut di setiap hari. Tapi apakah
penting bagi semua orang untuk berdisiplin menulis? Apakah kita benar-benar
harus berdisiplin menulis?
Jika kamu adalah seorang penulis artikel yang dibayar, atau
seorang jurnalis dan editor, mungkin alasanmu setiap hari menulis adalah karena
tuntutan kerja. Kegiatanmu menulis pasti akan dipandang wajar dan penting,
karena tujuan akhirnya adalah perolehan gaji yang jelas di akhir bulan.
Tapi bagaimana jika kamu adalah seorang pelajar, mahasiswa,
atau pengangguran yang tidak punya penghasilan tetap? Haruskah kamu tetap berdisiplin
menulis meski tidak jelas manfaatnya dari segi materi dan keuangan? Haruskah
kamu tetap menulis meski cibiran datang dari orang-orang sekitar karena kamu
dipandang berperilaku tidak keruan sebab hanya duduk di depan komputer atau
laptop sambil mengetik seharian?
Beginilah realita hidup di tengah-tengah masyarakat yang
pragmatis. Rasanya gampang-gampang susah. Di satu sisi, kita sejak kecil telah
diajari bagaimana dengan cepat mendeteksi hal-hal yang dianggap penting dan
tidak penting, serta memilih mana yang menguntungkan dan meninggalkan yang
tidak menghasilkan uang. Kalau dengan menulis bisa ada uang, teruskanlah. Kalau
tidak, buat apa menulis?
Di sisi lain, pola pikir serbapragmatis membuat kita kesulitan
mengapresiasi proses kerja, karena melulu berorientasi hasil. Padahal proses yang
baik—meski melelahkan—untuk tujuan yang baik akan sangat berdampak baik bagi
kesehatan jiwa dan raga manusia.
Lantas bagaimana dengan kegiatan menulis? Adakah berdisiplin
menulis merupakan kegiatan yang baik dan akan menghasilkan keberuntungan?
Bagi mereka yang bekerja untuk perusahaan media atau
penerbitan (sebagai wartawan, editor) mungkin keuntungan dari menulis bisa
terasa, di mana kita diberi gaji setiap bulannya dari kegiatan menulis. Blogger
profesional pun pasti mendapatkan manfaat berupa uang dari hasil kegiatan
menulis yang dia lakukan. Belum lagi para penulis yang menang lomba, atau punya
naskah yang diterbitkan, mereka sudah bisa melihat keuntungan material dari
menulis secara terang benderang.
Lantas apa kabarnya saya, penulis amatiran yang masih dalam
tahap menulis untuk buku harian yang usang, blog pribadi yang sepi, atau
tulisan-tulisan yang bertumpuk di file word komputer. Tulisan-tulisan tersebut
seperti tak ada harganya, minim pembaca, dan belum teruji kemanfaatan serta
baik buruknya.
Jika diukur dari pertimbangan untung dan rugi, buat apa saya
melanjutkan menulis dengan gaya seperti itu? Lebih baik berhenti saja! Mengapa
harus buang-buang waktu memelototi layar komputer atau lembaran kertas kosong
untuk menuangkan gagasan pikiran atau konsep khayalan yang pada mulanya abstrak
di pikiran?
Nyatanya, saya menolak untuk memandang kegiatan menulis
secara pragmatis. Kegiatan menulis tidak melulu bisa dipandang dari sudut
pandang yang tersebut di atas. Apalagi jika pelakunya merasa menemukan
kebahagiaan dari menulis. Istilahnya adalah passion, di mana seorang individu
punya ketertarikan yang berlebih di dunia kepenulisan.
Faktanya, para penulis yang ingin sehat selalu termotivasi
untuk disiplin menulis bukan melulu karena pertimbangan untung dan rugi.
Kegiatan menulis lebih dianggap sebagai sebuah kebutuhan, rutinitas yang mesti
dijalankan sebagai bentuk pegeluaran dari informasi dan pengalaman apa saja
yang telah diserap.
Ibaratnya, kalau disiplin membaca, menonton, mendengarkan,
merasakan dan kegiatan lainnya yang berkaitan dengan pengalaman panca indra
adalah “makan”, maka menulis arau berkarya kreatif apa saja adalah “buang
air”-nya. Kegiatan itu harus rutin dijalankan demi kesehatan jiwa dan raga. Jika
hanya makan, tapi tidak buang air, pasti ada perasaan yang tidak nyaman, bahkan
menimbulkan penyakit.
Tapi tentu saja bukan maksud saya untuk menyamakan kegiatan
menulis seperti buang air. Hanya saja, ini semacam output yang berharga dari
apa saja yang kita serap. Output itu akan jadi bahan kontemplasi yang
menyenangkan untuk diri kita sendiri, terdokumentasi, bahkan berpeluang jadi
sarana berbagi wawasan dan inspirasi dengan manusia lain.
Apa Untungnya Disiplin Menulis?
Hidup di tengah-tengah masyarakat yang pragmatis memang
gampang-gampang susah. Di satu sisi, kita bisa dengan cepat mendeteksi hal-hal
yang menurut kita penting dan tidak penting, serta memilih mana yang
menguntungkan dan meninggalkan yang tidak menghasilkan uang. Di sisi lain, gaya
hidup tersebut membuat kita terkadang sulit mengapresiasi proses yang
melelahkan, atau menghargai kegiatan yang berkaitan dengan kesehatan spiritual.
Dalam kaitannya dengan kegiatan menulis, pernahkah kalian
bertanya-tanya, apa ada untungnya?
Bagi mereka yang bekerja untuk perusahaan media atau
penerbitan (sebagai wartawan, editor) mungkin keuntungan dari menulis bisa
terasa, di mana kita diberi gaji setiap bulannya dari kegiatan menulis. Blogger
profesional pun pasti mendapatkan manfaat berupa uang dari hasil kegiatan
menulis yang dia lakukan. Belum lagi para penulis yang menang lomba, atau punya
naskah yang diterbitkan, mereka sudah bisa melihat keuntungan material dari
menulis secara terang benderang.
Lantas apa kabarnya saya, penulis amatiran yang masih dalam
tahap menulis untuk buku harian yang usang, blog pribadi yang sepi, atau
tulisan-tulisan yang bertumpuk di file word komputer. Tulisan-tulisan tersebut
seperti tak ada harganya, minim pembaca, dan belum teruji kemanfaatan serta baik
buruknya.
Jika diukur dari pertimbangan untung dan rugi, buat apa saya
melanjutkan menulis dengan gaya seperti itu? Lebih baik berhenti saja! Mengapa
harus buang-buang waktu memelototi layar komputer atau lembaran kertas kosong
untuk menuangkan gagasan pikiran atau konsep khayalan yang pada mulanya abstrak
di pikiran?
Nyatanya, saya menolak untuk memandang kegiatan menulis
secara pragmatis. Kegiatan menulis tidak melulu bisa dipandang dari sudut
pandang yang tersebut di atas. Apalagi jika pelakunya merasa menemukan
kebahagiaan dari menulis. Istilahnya adalah passion, di mana seorang individu
punya ketertarikan yang berlebih di dunia kepenulisan.
Faktanya, para penulis yang ingin sehat selalu termotivasi
untuk disiplin menulis bukan melulu karena pertimbangan untung dan rugi.
Kegiatan menulis lebih dianggap sebagai sebuah kebutuhan, rutinitas yang mesti
dijalankan sebagai bentuk pegeluaran dari informasi dan pengalaman apa saja
yang telah diserap.
Ibaratnya, kalau disiplin membaca, menonton, mendengarkan,
merasakan dan kegiatan lainnya yang berkaitan dengan pengalaman panca indra
adalah “makan”, maka menulis arau berkarya kreatif apa saja adalah “buang
air”-nya. Kegiatan itu harus rutin dijalankan demi kesehatan jiwa dan raga.
Jika hanya makan, tapi tidak buang air, pasti ada perasaan yang tidak nyaman,
bahkan menimbulkan penyakit.
Tapi tentu saja bukan maksud saya untuk menyamakan kegiatan
menulis seperti buang air. Hanya saja, ini semacam output yang berharga dari
apa saja yang kita serap. Output itu akan jadi bahan kontemplasi yang
menyenangkan untuk diri kita sendiri, terdokumentasi, bahkan berpeluang jadi
sarana berbagi wawasan dan inspirasi dengan manusia lain.
Begitulah kemudian saya memutuskan untuk terus menulis, terus nge-blog, meski akhir-akkhir ini penyakit "malas" saya kambuh lagi. Tapi setidaknya, memiliki blog dan media menulis lainnya banyak mendorong saya untuk membuat komitmen dengan diri
sendiri agar bisa menulis setiap hari. \
Akhir kata, berdisiplin menulis seharusnya menyenangkan. Sebab pada
hari esok, dan esoknya lagi, dan esoknya lagi, saya masih harus tetap menulis
lagi, membaca lagi, menantang diri lagi untuk lebih banyak belajar menulis, berbagi lagi, dan semoga kita semua bisa terus berbagi secara adil dan menyenangkan.
Sekian.
Mantap
BalasHapusTerima kasih.. Semoga bermanfaat
Hapus