Oleh: Sonia Fitri
Kasak-kusuk tetangga nyaring terdengar, berbisik nyinyir
soal pelakor yang katanya lagi berkeliaran bebas di kampung. Obyek pembicaraan
yang dimaksud yakni anak gadisnya Ajengan Jujun bernama Neng Rina. Ia merupakan
gadis pendiam dan jarang sekali keluar rumah. Kemarin-kemarin ia masih jadi
gadis muda yang cantik dan disegani karena berstatus anak kiai. Tapi seketika--disadari oleh tidak olehnya--ia berubah wujud jadi "pelakor" sehingga berkepanjangan menuai cibiran tetangga.
Apa itu pelakor? Apakah ia semacam monster berbulu lebat, atau makhluk jadi-jadian yang bertaring dan bermata merah menyala? Rupanya bukan itu. Kuamati, penampakan Neng Rina masih seperti yang kemarin-kemarin. Ia masih cantik dan pendiam. Bedanya, sejak isu pelakor beredar dan ditujukan untuk Neng Rina, sinar matanya tampak meredup. Tak nampak pula senyum manis terkembang di wajahnya.
Selidik punya selidik, Pelakor merupakan suatu istilah yang belakangan ini terdengar ramai di televisi, dipopulerkan oleh sejumlah tayangan infotainment, merujuk pada praktik perselingkuhan yang melibatkan kalangan artis. Pelakor adalah kepanjangan dari “Perebut Laki Orang”, atau ada juga yang menyebutnya “Perawat Laki Orang”. Intinya, orang yang disebut pelakor ialah para perempuan yang dianggap merebut laki-laki yang sudah punya istri.
Selidik punya selidik, Pelakor merupakan suatu istilah yang belakangan ini terdengar ramai di televisi, dipopulerkan oleh sejumlah tayangan infotainment, merujuk pada praktik perselingkuhan yang melibatkan kalangan artis. Pelakor adalah kepanjangan dari “Perebut Laki Orang”, atau ada juga yang menyebutnya “Perawat Laki Orang”. Intinya, orang yang disebut pelakor ialah para perempuan yang dianggap merebut laki-laki yang sudah punya istri.
Seperti diketahui, praktik poligami sangat tidak populer,
bahkan cenderung dibenci oleh masyarakat modern, terutama kalangan perempuan, meski dalam
agama dibolehkan. Masyarakat telah terbiasa dengan rumah tangga gaya monogami,
di mana ada satu suami dan satu istri, lalu mereka membesarkan anak-anak yang
lucu.
Maka kehadiran wanita idaman lain, atau wanita simpanan, atau
apalah istilah yang beredar, adalah hal yang tercela, bahkan dalam banyak kasus
menghasilkan konflik dan kehancuran rumah tangga. Praktik-praktik tersebut bisa
melibatkan siapa saja, tak harus melulu selebritas.
Kembali ke urusan Neng Rina yang tengah dikatai pelakor oleh
warga, ia dikabarkan akan menikah minggu depan dengan seorang dosen beranak
satu yang baru saja menceraikan istrinya.
“Heran, kenapa pinangannya diterima? Nikah siri pula,” kata
Ceu Odah sambil bibirnya manyun.
“Itulah kalau pertimbangannya sudah ke harta, jadi gelap
mata. Tahu sendiri dosen itu statusnya PNS,” Ceu Isah menimpali.
“Jagain tuh suaminya, ibu-ibu! Sekarang pelakor bukan di TV
aja, tapi udah masuk kampung,” Ceu Mimin menimpali.
Obrolan mereka berlangsung dari hari ke hari, tak kenal
waktu, tak kenal tempat. Jelang pernikahan Neng Rina, cibiran-cibiran tetangga
makin nyaring terdengar. Terlebih pernikahan mereka dilakukan secara tertutup, hanya
disaksikan keluarga dan orang-orang terdekat saja. Tetangga tidak diundang.
Ajaibnya, Neng Rina yang notabene adalah mantan kekasihku,
mengundangku untuk menyaksikan pernikahannya. Sehari sebelum ijab Kabul, ia
mengirim pesan WatsApp, memintaku dengan sangat agar bisa menghadiri
pernikahannya.
Aku jadi teringat tentang bagaimana kami saling jatuh cinta,
menjalin hubungan yang sopan selama tiga tahun. Neng Rina adalah teman
sekelasku ketika di SMA dulu. Anaknya cantik, sopan dan tidak banyak bicara.
Hal yang paling aku suka darinya adalah senyuman indah yang membuat kamu jadi terpaku, saking manisnya.
Ia tak pernah keberatan dibonceng pakai motor butut. Ia juga
selalu tersenyum meski aku hanya bisa membelikannya kerudung murahan untuk
hadiah ulang tahunnya. Tapi kemudian hubungan itu harus berakhir karena Ayahnya
tak suka denganku yang kala itu berstatus pengangguran. Di mana kerjaannya
hanya luntang-lantung tidak jelas selepas lulus sekolah.
Entah bagaimana awalnya hingga kemudian Neng Rina jadi
bulan-bulanan warga dengan status Pelakor. Mengapa istilahnya harus pelakor?
Mengapa seolah-olah kesalahan atas kehancuran rumah tangga seseorang hanya
ditujukan pada wanita?
Bagaimana dengan si lelaki yang katanya Dosen itu. Mungkin
pada awalnya dia yang mulai menggoda Neng Rina. Mungkin juga sebenarnya Neng
Rina tidak menginginkan pernikahan itu. Ia hanya menuruti keinginan ayahnya
yang selalu egois. Memilih untuk berprasangka baik selalu lebih baik dari pada
nyinyir dan mengotori mulut sendiri.
Mengapa harus dinamakan pelakor? Perebut Laki Orang. Adakah
pada awalnya seorang suami memang milik istrinya. Logikanya apa hingga orang
menganggap bahwa ada kepemilikan di antara dua orang yang menikah? Sebab
menurutku, ketika dua orang menikah, mereka tetap punya independensinya
masing-masing.
Sebelum atau sesudah menikah, mereka tetaplah orang yang
punya kedaulatan dan pilihan sendiri. Mereka juga tentunya punya pilihan untuk
tetap bersetia pada istri dan keluarganya, ataukah ingin menjalankan karma
buruk dengan melakukan praktik perselingkuhan.
Kesesatan istilah pelakor juga tampak nyata, sebab praktik
perselingkuhan itu melibatkan dua orang. Bukan hanya perempuan, tapi laki-laki
juga harus dideteksi kesalahannya, jika mau. Tidak mungkin perempuan disebut
“pelakor” kalau ia tidak kena rayuan, atau rayuannya disambut oleh suami orang.
Lantas aku bertanya-tanya lagi, di manakah logikanya istilah
pelakor? Mengapa mulut para ibu-ibu itu terlalu jahat, padahal mereka sama-sama
perempuan. Mereka juga mungkin punya anak atau saudara perempuan. Bukannya
saling membela, mengapa memilih saling menjelek-jelekan.
Terlalu bising orang berteriak-teriak tentang pelakor.
Padahal istilah itu sama sekali tidak ada dalam Kamus Bahasa Indonesia.
Berbahasa saja mereka masih seenaknya, bagaimana mungkin mreka berani-berani
usil dan menjadi hakim atas hidup orang lain. Mereka bahkan tidak tahu dan
tidak mau tahu kalau misalnya Neng Rina membela diri dan memberikan klarifikasi
suatu saat nanti.
Aku pun memutuskan untuk menghadiri pernikahannya. Bukan
untuk mencari tahu fakta yang sebenarnya, lantas melakukan pembelaan atau
justru ikut menyalahkannya. Aku hanya ingin bilang pada Neng Rina, bahwa apapun
yang terjadi, aku akan selalu berdoa untuk kebahagiaan dan keselamatannya.
Semoga dia bisa berumah tangga dengan baik dan benar, tanpa perlu tertekan
dengan kasak-kusuk bising pelakor.
TAMAT
11072018
Sumber Gambar: https://pixabay.com/id/domba-mengembik-komunikasi-2372148/
0 Response to "[CERPEN] Logika Pelakor"
Posting Komentar