Beberapa waktu lalu awak media dan netizen memberi kejutan tentang
seorang penulis kenamaan sekaligus cendekiawan Muslim asal Turki bernama pena
Harun Yahya. Dalam pemberitaan yang beredar, penulis yang bernama asli Adnan
Oktar ini ditangkap polisi bersama ratusan pengikutnya pada 11 Juli 2018 lalu.
Mengapa ditangkap polisi? Harun Yahya disebut-sebut telah
menyebarkan ajaran sesat untuk komunitas tertentu, melakukan praktik kriminal
dan asusila, serta diduga melakukan perencanaan kudeta terhadap pemerintahan
Turki.
Pertama kali mendengar berita ini, saya pada awalnya tidak
percaya. Mungkin saja ini suatu fitnah yang sengaja dilakukan oknum tertentu.
Yang saya tahu, Harun Yahya merupakan penulis hebat dan punya karya-karya yang
mendunia.
Sejak usia 30 tahunan, ia cukup produktif menulis buku, di
antaranya tentang isu Yahudi dan Freemasonry, seluk-beluk ilmu Alquran dari
pendekatan sains, serta produk pemikiran lainnya. Salah satu hasil karyanya
yang cukup fenomenal adalah bantahan tentang teori evolusi Darwin soal asal
usul manusia.
Entah bagaimana strategi pemasaran tim Harun Yahya sehingga
karya-karyanya bisa mendunia, terutama di dunia Islam. Sejak di bangku SMP,
saya sudah disuguhkan video-video pemikiran Harun Yahya, terutama yang
berkaitan dengan sains. Namun karena keterbatasan media, saya hanya menyimak
video-video itu sepenggal-sepenggal, tidak secara utuh, jadi tidak terlalu
memahaminya.
Tapi ketika karya Harun Yahya booming dan dikagumi kala itu,
memang sangat pekat aura kebanggaan dari kita selaku umat Muslim karena merasa
punya cendikiawan yang tampak cerdas dan berpemikiran canggih. Kita juga jadi
merasa keren karena karya-karya yang ditayangkan itu tampak menambah wawasan
dan ilmu pengetahuan. Apakah kalian juga merasakannya?
Alhasil, citra baik tentang Harun Yahya bertahan selama
bertahun-tahun di dalam benak saya, hingga kemudian semua itu runtuh seketika
setelah mendengar skandal sang penulis. Awalnya saya tak percaya tentang
kejahatan itu, tapi juga penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Terjadilah serangkaian penelusuran yang panjang mengenai
sosok Adnan Oktar yang kontroversial. ragam artikel dan video di Youtube saya
lahap untuk memperbaharui pemahaman tentang Harun Yahya. Rupanya apa yang
diberitakan bukan sekadar fitnah tak berdasar.
Dari serangkaian video di Youtube, tampak Adnan Oktar yang
memang menjadi pemandu kelompok pemikiran tertentu. Bersama sejumlah orang (di
mana para anggotanya adalah perempuan-perempuan cantik dan seksi yang dipanggil
“kucing” serta ada pula kalangan laki-lakinya yang gagah, disebut “singa”.), ia
membicarakan soal kajian filsafat yang dikaitkan dengan ragam budaya di
masyarakat.
Tayangan-tayangan di Youtube tentang Adnan Oktar juga
membuat saya tergelitik karena melihat orang yang sempat menjadi “kebanggaan”
itu menari-nari dengan perempuan seksi dan tampak menikmatinya. Rupanya sepak
terjang Adnan Oktar dianggap meresahkan, sehingga berujung pada penangkapan
oleh pihak kepolisian.
***
Pencarian data dan informasi tentang Harun Yahya barusan
berujung pada pemikiran, betapa di masa serbateknologi saat ini, propaganda dan
berita-berita yang beredar sangat bisa dijadikan senjata untuk menjatuhkan atau
mengagungkan martabat seseorang. Betapa mudahnya orang-orang terpengaruh untuk
memuji seseorang karena dikasih makan berita gemilang, lalu dengan sekejap
berbalik arah jadi kecewa dan menghujat karena ditimpali berita-berita buruk.
Saya tidak mau kecewa maupun marah ketika tahu ada banyak
informasi dan tayangan yang “ganjil” tentang Adnan Oktar belakangan ini. Lagi
pula dulu saya tidak terlalu mengagumi sosok itu, dan saat ini saya pun tidak
mau berlagak sok tahu dengan ikut menyalahkan pemikiran dan perilakunya bersama
kelompok kocak itu.
Tapi dari sosok Adnan Oktar, karya-karyanya serta ragam
skandal yang dipamerkan media, tebersit sebuah tanya. Bagaimana nasib
karya-karya dan hasil pemikirannya di masa lalu. Adakah karena ia saat ini
terkena kasus, maka hasil karyanya dulu jadi ikut cacat dan nista?
Padahal sebelumnya karya-karya itu pernah mendapat sanjungan
dan apresiasi yang tinggi dari warga dunia, utamanya orang Islam yang awam.
Bisa jadi, sekarang karya-karya itu dipertanyakan kembali dan ditelisik
kesalahan demi kesalahannya.
Berkaitan dengan proses mengeja berita skandal Harun Yahya,
saya ingin mengakhirinya dengan menyampaikan ucapan dari Sayyidina Ali Bin Abi
Thalib sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir, “Perhatikanlah apa yang
dikatakan, jangan memperhatikan siapa yang berkata.”
Ucapan tersebut mungkin adalah permintaan kepada kita semua,
agar mengambil atau mengapresiasi apapun perkataan atau ilmu yang baik, tanpa
terlalu memerhatikan siapa yang menyampaikannya. Sebab urusan kita adalah
menyerap segala hal positif yang baik dan memiliki dasar yang kuat, bukannya
menyibukkan diri dengan mencari-cari aib dan kesalahan orang.
Sebagai contoh, jika kita mendapat pengetahuan bahwa 2x2
adalah 4 dari seorang guru yang jujur, maka kita akan segera percaya karena
ajaran tersebut disampaikan kepada orang yang berilmu. Tapi kita mungkin akan
berpikir dua kali, bahkan menolaknya mentah-mentah ketika pernyataan itu
disampaikan oleh orang yang buta huruf dan penipu.
Ada pula ungkapan Matinya Pengarang atau “The Death of
Author” yang pertama kali dilontarkan oleh Roland Barthes pada 1968. Ucapan ini
merujuk pada karya apapun yang telah disajikan ke ranah publik, yang mana
penafsiran atau persepsinya sudah tidak ada lagi kaitannya dengan si Pengarang.
Sebab, publik dan pembacalah yang akan memutuskan karya tersebut mau dimaknai
atau dimaknai seperti apa. Ketika suatu karya disebarkan ke publik, penulis
“mati” dan pembaca/pengapresiasi akan “lahir”. Penulis sudah tidak lagi punya
kendali atau mengendalikan persepsi apresiator terhadap karya-karya yang
dirilis.
Maka kembali lagi ke Harun Yahya dan karya-karyanya, dua hal
ini menurut saya sudah tidak lagi saling berkaitan. Kita tidak bisa seenaknya
menistakan karya-karya dia di masa lalu karena merasa bahwa Adnan Oktar selaku
penulisnya saat ini sedang terkena skandal yang cukup serius.
Karya itu tetaplah karya, yang sudah terlepas dari
pengarangnya. Karya-karya Harun Yahya tetap layak diapresiasi, dibaca maupun
dinafikan dan dikritisi, tapi tidak perlu menait-kaitkan dengan sosok
penulisnya di masa kini.
Lagi pula, manusia sepanjang hidupnya terus mengalami
perubahan demi perubahan. Arah perubahan apakah itu positif maupun negatif
bergantung pada seberapa piawainya orang tersebut menyerap informasi dan
mengaktialisasikan dirinya di depan publik.
Maka Harun Yahya yang dulu, ketika dia menulis buku,
bukanlah Harun Yahya yang sekarang, meski tetap yang sekarang dipengaruhi masa
lalu. Mari berpikiran bijak, tidak cepat mengagungkan atau merendahkan orang
tanpa klarifikasi, serta selalu peduli dengan optimalisasi kualitas diri dengan
cara memilah lalu memasukkan banyak hal positif ke dalam otak. Semoga ini lebih
baik ketimbang sibuk mencari-cari kesalahan orang. Kiranya demikian.
Sumber Gambar dan Referensi:
0 Response to "Mengeja Berita Skandal dan Kontroversi Harun Yahya"
Posting Komentar