Kebanyakan anak yang dilahirkan ke dunia harus siap
berbahagia karena menerima banyak cinta dari kedua orang tuanya, terutama
ibunya. Bayi punya energi yang sangat luar biasa untuk melipatgandakan rasa
kasih dan sayang orang-orang dewasa. Sehingga mereka dalam kondisi lemah tak
berdaya, ada orang-orang yang sudi kerepotan membesarkan sang anak dengan
berbahagia.
Namun nyatanya kisah merawat dan mendidik anak tak selalu
diwarnai cerita bahagia. Terutama ketika anak-anak itu mulai beranjak dewasa
dan merasa sudah punya kendali atas segara aktivitas pribadi, serta bisa
memutuskan segala keinginan secara mandiri.
Jangan jauh-jauh menyebutkan contoh potret muram konflik
orang tua versus anak. Ini terjadi di lingkungan rumah saya sendiri, di mana
kejadiannya menimpa beberapa keluarga secara beruntun. Lingkungan di kampung
memungkinkan semua orang saling “peduli”—jika tak mau disebut nyinyir kelas
kakap, saling membicarakan kondisi rumah tangga antartetangga, pun saling prihatin,
syukur-syukur bisa saling bertukar solusi.
Potret I
Pagi hari, orang tua murid datang ke rumah membawa kabar
duka. Anaknya sudah sekitar sepekan meninggalkan rumah, dibawa pacarnya entah
ke mana. Syukurlah, baru kemarin si anak gadis bisa pulang ke rumah setelah
melibatkan pihak kepolisian.
Lantas sepekan ini ke manakah si anak gadis? Di hari-hari ia
menghilang, orang tua, tetangga serta para guru sibuk mencarinya ke mana-mana.
Beragam kabar mohon bantuan pencarian disebarkan baik lewat ragam media sosial,
maupun dari mulut ke mulut.
Di hari ketiga, si anak mengontak bahwa dirinya ada di Pulau
Bali, dalam kondisi aman bersama pacar tercinta, lantas minta dikirim uang Rp 5
juta untuk ongkos pulang. Meski panik, bapak si gadis tak mau bertindak gegabah.
Ia bersama jajaran kepolisian sudah melacak posisi ponsel yang digunakan si
anak, yang ternyata menunjukkan posisi di Pelabuhan Ratu.
Tindakan cerdas itu membuahkan hasil. Gadis kesayangannya
berhasil dijemput di lokasi yang telah terdeteksi. Rupanya si anak dan pacarnya
berbohong, sementara ponselnya sudah dijual karena kehabisan uang.
Cerita berakhir sampai di sana. Orang tua murid itu tak mau
bercerita secara detail perihal apa sebenarnya maksud dan tujuan si anak
melakukan hal mengecewakan tersebut. Ia hanya minta izin pamit karena anak
gadisnya memutuskan untuk berhenti sekolah. Mungkin malu, atau entahlah apa
alasannya.
Potret II
Seorang ibu muda yang merupakan tetangga sebelah rumah
menangis tersedu meratapi kelakuan anak laki-lakinya tercinta yang berusia tiga
belas. Semenjak kematian suaminya akibat diabetes beberapa hari lalu, kenakalan
anaknya makin menjadi-jadi. Sang anak tidak mau masuk sekolah, lebih senang
menghabiskan waktu bermain entah di mana bersama teman-temannya. Untuk uang makan
dan jajan, si anak dapat pemasukan dari jasa ojek pangkalan.
Potret III
Masih kisah bermasalah antara orang tua dan anak
laki-lakinya. Usia si anak sekitar 13 tahun juga. Tak tahan melihat kelakuan
anaknya yang menolak masuk sekolah dan kerjaannya hanya marah-marah dan
memukuli ibunya sepanjang hari, akhirnya dia dimasukkan ke pondok pesantren di
kawasan Jawa Tengah.
Namun bari beberapa bulan si anak berstatus santri, ia sudah
meminta banyak hal yang berkaitan dengan materi. Ada-ada saja permintaannya,
dari mulai minta dibelikan handphone, dibuatkan kartu ATM, hingga minta
ditransfer dengan sejumlah uang setiap pekan.
Alasannya, ia butuh uang untuk membeli buku, seragam, iuran
apalah-apalah, serta banyak alasan lainnya. Sialnya, orang tuanya percaya
begitu saja. Ringan saja mereka memberikan uang, berharap anaknya berhasil
dalam menuntut ilmu, lantas jadi ahli agama kelak.
Lambat laun, kebohongannya terbongkar dari salah seorang
temannya yang juga mesantren di sana. Teman santrinya bilang, justru santri tak
boleh bawa handphone, serta tidak ada iuran macam-macam. Orang tuanya tentu
saja kecewa, tapi sayangnya kebohongan itu tidak ditindaklanjuti dengan
pencegahan nyata.
Puncaknya, si anak kabur dari pesantren setelah dikirim uang
Rp 400 ribu. Dia kedapatan pulang ke Bandung, bermain dengan teman-temannya di
kampung, lalu seenaknya pulang ke rumah dan bilang kalau ia tidak akan ke
pesantren lagi karena terlibat perkelahian dengan salah seorang santri di sana.
Kemarahan ibunya memuncak. Sudah tidak habis pikir dengan
kelakuan si anak. Sang ibu mengusirnya, menyerapah macam-macam, lalu si anak
pergi entah ke mana. Sampai malam ini, si anak belum juga kembali, dan si ibu
dalam kemarahan tetap tenggelam dalam tangisan dan kekhawatiran.
Apa kalian pernah lihat anak-anak punk atau preman-preman
cilik yang berkeliaran di jalanan. Saya jadi khawatir bahwa mereka pergi dengan
membawa penyesalan dan ketakutan, padahal orang tuanya di rumah menunggu dengan
cemas. Pikiran saya jadi menerawang ke mana-mana, membayangkan ada di posisi si
anak, pun membayangkan ada di posisi orang tuanya.
***
Di sini saya tak mau berperan jadi penasihat rumah tangga,
atau pakar pendidikan anak yang sok-sok memberi saran dan solusi untuk segala
permasalahan orang tua dan anak di mana pun mereka berada. Toh pada
kenyataannya, saya baru memulai kehidupan rumah tangga, tapi belum berpengalaman
mengurus anak manusia.
Pada tulisan ini, saya hanya ingin mengutarakan kesedihan
diiringi perenungan. Betapa pentingnya kita untuk memiliki ilmu parenting
sebelum dan ketika berumah tangga dan memiliki anak. Membesarkan anak nyatanya
tak cukup dengan hanya mencurahkan kasih sayang yang membabi buta semata.
Sebab mungkin itu anak jadi boomerang, di mana kasih sayang
orang tua disalahartikan sebagai kebodohan yang mengecewakan. Terlebih, anak
zaman sekarang bisa belajar dan mengambil contoh “kenakalan” dari mana saja,
terutama dari keluangan mereka membangun jaringan dan mengakses informasi dari
dunia maya.
Tiga potret muram yang saya ceritakan hanyalah sebagian
kecil dari banyaknya cerita pilu kasus konflik orang tua dan anak.
Mudah-mudahan kisah-kisah tadi menjadi pelajaran bagi kita, agar bisa
memperkaya ilmu pengetahuan untuk menyiapkan generasi-generasi muda yang baik
dan membanggakan.
Meski begitu, saya pun sadar bahwa tak ada jaminan untuk
mendidik anak dengan baik, meskipun kita sudah mengantongi ragam ilmu
parenting, berpendidikan tinggi atau melakukan langkah antisipatif macam-macam.
Pastinya selalu aka nada kejutan dari cerita mendidik anak nantinya.
Pada awalnya, semua orang tua pastinya berangkat dari niat
baik ketika dihadirkan anak di rumah tangganya. Beragam kejutan akan kita
hadapi seiring dengan persiapan alakadarnya yang kita siapkan untuk membuat
anak-anak bisa terampil berpijak di bumi. Maka setelah doa dan ikhtiar
dilakukan, mari berpasrah saja terhadap takdir apa saja yang dilimpahkan pada
anak-anak kita kelak.
Akhir kata, mudah-mudahan kita semua punya emosi yang stabil
untuk menghadapi segala permasalahan antarmanusia, turut membantu menyelesaikan
masalah dengan adil, serta tidak memperkeruh suasana ketika kita tidak mampu
memberi solusi.
Belajarlah, berbijaklah, berdoalah, tawakkal!
*Menasihati diri sendiri
0 Response to "Potret Kelam Konflik Orang Tua vs Anak"
Posting Komentar